Home » Cerita Pengalaman Membangun Website Pribadi
Membangun Website

Cerita Pengalaman Membangun Website Pribadi

Membangun website pribadi, yay or nay?

Kali ini saya akan ceritakan tentang asal muasal adanya website ini.

Jadi waktu saya masih jadi student RevoU -tepatnya di break week setelah SEM week- saya berguru tentang SEO ke salah satu rekan saya yang sudah banyak pengalaman di dunia SEO.

Berikut ini saya lampirkan profilenya barangkali ada HR atau user yang butuh jasanya, namanya Kelvin.

Kebetulan materi week selanjutnya saat itu adalah tentang SEO. Jadi saya curi start ceritanya hehe.

Langkah Pertama Membangun Website

Beli Hosting dan Domain

Secara sederhana hosting adalah tempat menyimpan data dan domain adalah alamat website yang akan kita gunakan untuk website kita. Oiya baik hosting dan domain ini tidak gratis, jadi harus beli huhu.

Saya bercita-cita suatu saat bisa memonitize website ini. Saat itu yang terbesit adalah adsense, dan menurut rekan saya tidak bisa kalau pakai yang gratisan. Jadi mari kita hajar a.k.a beli.

Karena saya ingin serius belajar, jadi di minggu itu juga akhirnya saya memutuskan untuk membeli hosting dan domain. Tentu saja dengan panduan dari rekan saya itu.

“Saya aslinya gak hobi nulis, tapi pengen punya website sendiri. Gimana biar semangat nulis? Beli hosting sama domain.

Udah keluar uang buat beli hosting sama domain masa masih gak semangat? Kira-kira begitu konsepnya.

Mengeluarkan uang lebih adalah salah satu upaya menjaga komitmen bagi saya.”

Karena saya akan mengeluarkan uang yang tidak sedikit, maka saya pun juga harus selektif ketika akan membeli hosting dan domain.

6 hal yang perlu diperhatikan sebelum membeli hosting dan domain

  1. Tujuan dan Kebutuhan Membangun Website

    Sebelum memilih hosting dan domain, pertimbangkan dulu tujuan dan kebutuhan website yang akan kita buat. Apakah websitenya nanti akan bersifat pribadi atau bisnis. Kalau sifatnya bisnis biasanya akan lebih kompleks lagi, contohnya seperti e-commerce yang butuh layanan hosting lebih ampuh dan penamaan domainnya juga pastinya lebih banyak pertimbangan.
    Pertimbangkan juga berapa banyak visitor yang diharapkan untuk mengakses website.

  2. Jenis Hosting

    Menurut Domainesia ada beberapa jenis hosting yang tersedia, antara lain Shared Hosting, VPS Hosting, Reseller Hosting dan Cloud Hosting. Untuk pemula sebaiknya menggunakan Shared Hosting, tapi kembali lagi ke tujuan awal membuat website. Pilih jenis hosting yang sesuai dengan kebutuhan website teman-teman.

  3. Bandwith dan Disk Space

    Pastikan hosting yang kita pilih memiliki bandwith dan disk space yang cukup untuk menampung kebutuhan website. Bandwith dibutuhkan untuk memastikan visitor lancar jaya saat mengakses website kita dan disk space berguna untuk menyimpan konten website kita.

  4. Keamanan

    Pastikan hosting yang kita pilih memiliki fitur keamanan yang cukup untuk melindungi website kita dari serangan negara api a.k.a malware, hacking dsb.

  5. Harga

    Untuk part ini kita harus sangat cermat, asal murah saja tidak cukup. Pastikan fitur dan kualitasnya memadai.

  6. Layanan Pasca Bayar

    Karena saya mantan sales (wadaw), hal ini justru saya perhatikan pertama kali. Bayangkan ketika sudah bayar kemudian tiba-tiba kita ada problem, tapi doi ngilang. Huaa, gamau kan?

Beli Hosting dan Domain di Domainesia

Setelah mempertimbangkan, melakukan komparasi sana-sini dan menganalisa akhirnya saya menjatuhkan pilihan pada Domainesia.

Di antara 6 poin yang sebelumnya saya sebutkan di atas, ada 4 poin yang membuat saya sangat yakin untuk membeli hosting dan domain di Domainesia.

Domainesia memiliki tim yang dedikatif

Seperti yang saya jelaskan di atas, sebelum saya beli saya akan melihat cara pelayanannya terlebih dahulu. Dan Domainesia lolos poin ini. Tidak pakai chat bot, fast respon, detail, persis saya waktu jadi sales (idih pede banget haha).

Banyak pilihan paket

Di Domainesia terdapat 4 jenis paket hosting yang bisa dipilih, antara lain paket Starter, paket Super, paket Monster dan Supreme. Selengkapnya bisa dilihat di sini.

Pembayaran fleksibel

Kalau boleh jujur saya sudah hampir deal di tempat lain, tapi ternyata pembayarannya harus menggunakan CC. Kebetulan saya sudah lama tidak pakai CC jadi saya cari alternatif lain dan saya menemukan Domainesia dengan segala keunggulannya dan fleksibilatas pembayarannya.

Lokasi di Jogja

Saya lihat Domainesia beralamat di Jogja, jadi kalau nanti ada apa-apa bisa saya labrak kantornya *wow, gak beneran loh ya saya cuma bercanda. Tolong abaikan alasan keempat ini hahaha. Tapi entah kenapa lebih trust aja gitu kalau sesama Jogjanya, hasek.

Kabar baik dari Domainesia

Lagi ada promo nih dari Domainesia. Beli hosting gratis domain dan SSL, dan masih diskon 30%. Lumayan banget kan?

Teman-teman bisa langsung cek di link ini atau bisa langsung klik banner di bawah ini yaa!
DomaiNesia

Setting Website

Setelah berhasil beli hosting dan domain, maka saatnya mulai setting-setting. Jujur sampai part ini happy banget karena jadi berasa kayak programmer/ anak IT wkwk. Untuk tutorial banyak di Youtube jadi rasanya saya tidak perlu menjelaskan secara detail.

Teman-teman juga bisa menghubungi CS Support Domainesia jika menemui kendala.

Percayalah part ini seru.

Mau dibawa Kemana Website Ini?

Mungkin teman-teman sudah tau bahwa website yang baik adalah website yang spesifik.

Google juga pada saat itu menjunjung konsep E-A-T (Expertise, Authoritativeness, Trustworthiness). Ya intinya kalau mau websitenya nangkring di rank atas harus EAT-able.

Jadi setelah saya beres setting-setting saya menentukan niche (bab apa yang akan saya bahas di website ini). Harusnya ini jadi yang pertama dipikirkan sebelum beli hosting, tapi emang dasar saya tipe yang suka hajar duluan ya gimana yaa hehe.

Pada saat itu agak bingung mau menentukan niche. Jangankan niche, tujuannya pun masih sangat samar (uh dasar).

Karena saya basicnya sales, jadi yang terbesit dalam benak saya pada saat itu adalah jualan.

Pertanyaannya mau jualan apa?

Kebetulan pada saat itu juga saya ada di masa peralihan karir a.k.a switch career ke digital marketing.

Jadi akhirnya saya memutuskan untuk menjual diri saya sendiri (loh?). Menjual cerita maksudnya.

Kebetulan memang lagi seneng-senengnya, jadi saya banyak cerita tentang perjalanan karir saya sampai akhirnya switch career ke digital marketing.

Saya juga ingin membantu teman-teman yang mungkin stuck atau ragu bahwa ini possible loh, start from zero tidak selalu buruk, tidak semenakutkan itu.

Dari situ saya menemukan niche untuk membangun website ini.

Rebranding Website

Stuck

Dalam perjalanan membangun website, setelah saya menemukan niche saya pikir semuai akan beres. Tinggal tulis saja sebanyak-banyaknya.

Eh tapi ternyata saya stuck. Bingung mau nulis apa lagi.

Mau share tutorial ngiklan sepertinya agak kurang asik, lebih seru kalau lewat video menurut saya.

Mau bagi-bagi tips seputar ngiklan juga sepertinya agak kurang elok mengingat saya saat ini bekerja di agency, menurut saya tips atau strategi itu sifatnya confidential.

Jadi saya bisa dibilang jarang sekali menulis. Sayang kan?

Bertemu Komunitas

Sebelumnya saya sudah banyak follow para ekspertis SEO dan blog. Hingga akhirnya saya menemukan komunitas blog di Instagram.

Saya iseng kepo, eh kok seru ya. Ada lomba blog, ada challenge menulis, anggotanya juga saling support.

Akhirnya saya join dengan harapan bisa lebih rajin nulis lagi.

Nah tapi ternyata seringnya lomba blog dan challenge-challenge menulis temanya tidak sesuai niche saya. Hmm.

Ubah Layar

Seperti judul buku ya, tapi ini memang salah satu judul buku dari pak Mardigu Wowiek. Tau banget karena saya pernah bekerja dengan beliau di Aksoro.

Ketika kita berlayar dan menetapkan sebuah tujuan seringkali kita akan menemui badai dan ombak.

Apakah kita harus berputar balik dan mundur? Eits jangan dong.

“Ubah layarnya, bukan tujuannya”

Tujuannya kan gimana caranya supaya website ini bisa menghasilkan, dengan cara apapun. Entah adsense, menang lomba blog, affiliate atau apapun itu.

Ketikan saya stuck saya tidak boleh berhenti, website ini harus tetap hidup.

Jadi begitu, ubah layarnya bukan ubah tujuannya. Banyak jalan menuju Roma.

Makin Semangat Karena Konsep E-E-A-T

Jika sebelumnya Google menjunjung konsep E-A-T (Expertise, Authoritativeness, Trustworthiness).

Baru-baru ini ada update lagi dengan penambahan E di depannya, jadi E-E-A-T.

Kabar baiknya the ‘E’ stands for ‘Experience’.

Entah kenapa saya rasanya jadi punya lebih banyak gambaran lagi untuk menulis, karena beban sekali kalau harus mengedepankan E-A-T saja. Saya mah apa atuh.

Penutup

Kalau dari yang saya simpulkan (untuk diri saya sendiri), maka setelah ini mungkin saya akan lebih banyak share mengenai hal yang informatif dan bermanfaat bagi para pembaca dan tentunya berdasarkan pengalaman nyata.

Semoga teman-teman bisa mendapatkan manfaat dari tulisan-tulisan saya.

Terima kasih sudah mampir ^_^

Related Posts

3 thoughts on “Cerita Pengalaman Membangun Website Pribadi

  1. Saya dpt postingan ini di BP dan tertarik baca, seseorang yg switch career itu jarang dan mmg tdk mudah loh. Mba hebat 🙂
    Pengalaman belajar mulai dari 0 itu juga patut diapresiasi. Mungkin Mba-nya utk menambah penghasilan bs ikut affiliate macam involve atau accesstrade, atau langsung pakai tokped dan shopee affiliate saja hehehe.
    Selain itu Mba bisa sharing2 ilmu atau pengalaman di blog ini. Review produk terus pake kode afiliasi, lumayan hasilnya.
    Salam kenal ya Mba, sy jadi lebih tambah semangt bisa baca2 perjuangan blogger yg lain dlm mencapai tujuan. Ubah layarnya, quote yang menarik 🙂

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *